Kamis, 16 Juni 2011

MAKALAH STUDI AL-QUR'AN

MASA PEMBENTUKAN AL-QUR’AN

( PERIODE NABI DAN SAHABAT )

Oleh: Hendrayadi, S.Pd.I

(Mahasiswa PPs UIN Suska Riau)

A. Pendahuluan

Diantara kemurahan Allah SWT kepada manusia adalah Dia memberikan petunjuk dan bimbingan ke arah kebaikan serta mengutus seorang rasul dan risalah-Nya kepada manusia dari waktu ke waktu. Dengan rasul dan kitab yang diturunkan, manusia dapat beribadah kepada Allah SWT, menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan.[1]

Perkembangan ilmu dan kemajuan berpikir manusia, sanantiasa disertai oleh wahyu yang sesuai dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh kaum setiap nabi dan rasul itu, sampai perkembangan tersebut mengalami kematangan. Allah SWT menghendaki agar risalah Nabi Muhammad SAW muncul di dunia ini, maka diutuslah Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan risalah para rasul pendahulunya denga syari’at yang universal dan abadi.[2] Itulah yang disebut Wahyu/Al-Qur’an.

Al-Qur’anul Karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan akan terpelihara sampai akhir zaman. Namun perlu kita kaji bagaimana keberadaan dan pembentukan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad dan sahabat.

Untuk menambah wawasan kita tentang Studi Al-Qur’an, berikut ini penulis akan memaparkan pembahasan mengenai Masa Pembentukan Al-Qur’an (Periode Nabi dan Sahabat). Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi pembaca terutama penulis sendiri dan menambah kecintaan kita terhadap Al-Qur’an.

B. Pembahasan

1. Faham Jahiliyah

Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing manusia ke jalan yang lurus. Namun orang-orang jahiliyah selalu berusaha untuk menimbulkan keraguan mengenai wahyu. Mereka mengira bahwa Al-Qur’an dari pribadi Muhammad, dengan menciptakan dan dia sendiri pula yang menyusun bentuk gaya bahasanya. Dengan demikian menurut faham orang Jahiliyah, Al-Qur’an bukanlah wahyu.

Pada dasarnya istilah wahyu bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat jahiliyah dan mereka telah sering mendengarnya. Bahkan bangsa Arab sebelum Islam datang telah menganut agama yang mengakui adanya Allah SWT sebagai Tuhan mereka. Kepercayaan ini diwarisi turun temurun sejak nabi Ibrahim AS dan Ismail AS. Al-Qur’an menyebut agama itu adalah agama yang Haniif, yaitu kepercayaan yang mengakui keesaan Allah sebagai pencipta alam, Tuhan menghidupkan dan mematikan, Tuhan yang memberi rezki dan sebagainya.[3]

Orang jahiliyah juga menyangka bahwa Rasulullah SAW mempunyai ketajaman otak, kedalaman penglihatan, kekuatan firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar sehinga menjadikannya dapat memahami ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk, benar dan salah melalui inspirasi, serta mengenal perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf, sehingga Al-Qur’an itu tidak labih merupakan hasil nalar intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Nabi Muhammd dengan gaya bahasa dan retorika yang tinggi. Di samping itu orang jahiliyah juga menyangkakan bahwa Nabi Muhammad telah menerima ilmu-ilmu Al-Qur’an dari seorang guru. Hal ini benar, akan tetapi guru yang menyampaikan Al-Qur’an itu adalah malaikat wahyu dan bukan guru dari golongannya dan dari golongan manusia lain. Nabi Muhammad SAW tumbuh dan hidup dalam keadaan buta huruf dan tak seorangpun diantara mereka yang membawa simbol ilmu dan pengajaran. Ini adalah kenyataan yang disaksikan oleh sejarah. Bangsa Arab makkah sebenarnya ingin sekali menolak Al-Qur’an karena menaruh dendam kepada Muhammad, tetapi mereka tidak sanggup dan usaha yang mereka lakukan sia-sia. Al-Qur’an tidak mengandung unsur manusia, baik oleh pambawanya atau oleh orang lain. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha terpuji.

Istilah Jahiliyah menggambarkan masa kebodohan atau masa kegelapan ketika bangsa Arab tidak memiliki aturan hukum, nabi atau rasul dan kitab suci. Menurut Ensiklopedi Islam,[4] masa jahiliyah merupakan salah satu tiga periode sejarah bangsa Arab sebagai berikut:

a. Periode Saba’ dan Himyar

b. Periode Pra-Islam

Periode ini disebut zaman jahiliyah/abad kebodohan. Ciri-ciri ini tercermin dalam lagu atau syair pra Islam yang masih ada sampai sekarang. Pada saat itu tidak terdapat literatur dalam bentuk prosa kecuali syair tertentu yang menggambarkan sejarah, nasab, ucapan selamat atas kepahlawanan dan sanjungan atau kebaikan orang atau susku bangsa Arab.

Adapun kondisi masyarakat jahiliyah pra Islam dilihat dari kondisi sosial mereka yang gemar minum minuman keras, hampir setiap literatur kuno diwarnai sanjungan terhadap miras, bahkan miras lebih disukai dari pada keselamatan diri sendiri, perjudian merajalela dan mempertaruhkan seluruh kekayaan, wanita tidak memiliki hak dan rasa hormat seta mereka tidak menyukai anak perempuan lahir. Peristiwa ini digambarkan Allah dalam QS. Az-Zuhruf (43) ayat 17. Jika dilihat dari segi politik, bangsa Arab Jahiliyah tidak ada persatuan dan mereka terpecah belah menjadi suku dan sekte, sering terjadi peperangan, maka yang dibutuhkan ketika itu adalah kekuatan fisik dan ketangkasan memainkan pedang. Apalagi dari segi keagamaan, mereka menyembah berhala yang pada mulanya sebagai medium untuk penyembahan kepada Tuhan lalu dijadikan Tuhan.[5]

c. Periode Islam, merupakan merupakan masa penting dalam sejarah bangsa Arab di bawah kekuasaan Islam.

Al-Qur’am menamai masyarakat Arab sebagai masyarakat “Ummiyyun”. Kata ini adalah bentuk jama’ dari Ummiy yang terambil dari kata Umm yang arti harfiahnya adalah ibu, dalam artian bahwa seorang ummiy dimana keadaannya sama dengan keadaan pada saat dilahirkan oleh ibunya dalam kemampuannya membaca dan menulis.[6] Kemampuan tulis baca di kalangan masyarakat Arab pada masa awal keislaman sangat minim, bahkan ada riwayat yang menyebutkan hanya belasan orang saja sehingga seorang penyair bernama Zurrummah meminta kepada seseorang yang mendapatinya sedang menulis untuk tidak memberitahukan tentang kemampuannya menulis, termasuk juga kemampuan mereka dalam berhitung sangatlah rendah.[7]

2. Tradisi Arab dan Syair

Keadaan masyarakat Makkah sebelum Islam datang disebut zaman Jahiliyah, zaman kegelapan, kebutaan dan kebodohan dalam hal agama dan keyakinan. Mereka menyembah berhala, namun dalam bidang tertentu mereka sudah maju seperti dalam bidang perdagangan/ekonomi, peternakan, Astronomi dan memanah. Disamping itu tradisi yang kental bagi masyarakat Janhiliyah adalah dalam hal sastra/bahasa yang dikenal syair. Sastra mempunyai arti penting bagi masyarakat Makkah/Arab. Mereka mengabadikan peristiwa-peristiwa dalam bentuk syair yang diperlombakan tiap tahun di pasar seni Ukaz, Majinnah dan Zu Majaz. Bagi yang memiliki syair terbagus akan diberi hadiah dan mendapat kehormatan bagi suku atau kabilahnya serta syairnya akan digantung di Ka’bah yang dinamakan “Al-Mu’allaq As-Sab’ah”.[8] Seperti telah dijelaskan di atas bahwa kegemaran masyarakat Jahiliyah adalah membuat syair atau lagu. Pada masa itu tidak terdapat literatur dalam bentuk prosa kecuali syair tertentu yang menggambarkan sejarah, nasab, ucapan selamat atas kepahlawanan dan sanjungan atau kebaikan orang atau suku bangsa Arab.

3. Pandangan Ahli kitab terhadap Al-Qur’an

Rasulullah Muhammad SAW bukanlah Rasul yang pertama menerima wahyu. Allah juga telah memberikan wahyu kepada rasul-rasul sebelumnya. Dengan demikian wahyu bukanlah suatu hal yang aneh dan mengherankan. Oleh sebab itu Allah SWT mempertanyakan rasa heran orang ini bagi orang yang berakal. Firman Allah SWT dalam QS. Yunus (10) ayat 2:

tb%x.r& Ĩ$¨Z=Ï9 $·6yftã ÷br& !$uZøym÷rr& 4n<Î) 9@ã_u öNåk÷]ÏiB ÷br& ÍÉRr& }¨$¨Z9$# ÎŽÅe³o0ur šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ¨br& óOßgs9 tPys% A-ôϹ yYÏã öNÍkÍh5u 3 tA$s% tbrãÏÿ»x6ø9$# žcÎ) #x»yd ֍Ås»|¡s9 îûüÎ7B ÇËÈ

Artinya:

“Pantaskah manusia menjadi heran bahwa Kami memberikan mewahyukan kepada seorang laki-laki diantara mereka: berilah peringatan kepada manusia dan kabar gembirakanlah orang yang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka. Orang-orang kafir berkata: Sesungguhnya orang ini (Muhammad SAW) adalah benar-benar tukang sihir yang nyata.”[9]

Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam, antara lain yang terkenal menyembah berhala (Paganisme), namun demikian di kalangan bangsa Arab ada yang tidak suka menyembah berhala seperti Waraqah bin Naufal dan Utsman bin Huwairis yang menganut agama Masehi dan Abdullah bin Jahsy. Agama Masehi dipeluk penduduk Yaman, Najran, dan Syam. Sedangkan Agama Yahudi dipeluk oleh imigran Yahudi dari Yaman dan Yatsrib. Di samping itu ada pula agama Majusi (Mazdaisme) agama orang Persia. Para penganut agama ini saling berselisih dan saling mencaci maki agama mereka seperti mempermasalahkan kesucian Maryam, akhirnya mereka terpecah belah menjadi beberapa sekte. Dalam keadaan yang demikian tidak ada yang menjadi penengah dan panutan yang menjadi penunjuk.

Dalam keadaan yang demikianlah Muhammad lahir, masa kegelapan dan kebodohan dalam hal agama, namun di sisi lain mereka telah lebih dahulu maju seperti bidang perdagangan, ekonomi, peternakan dan sastera.[10] Dengan kemunculan Islam yang dibawa oleh Muhammad, baik orang Masehi, Yahudi maupun Majusi (Seluruh masyarakat Makkah dan sekitarnya) walaupun awalnya tidak timbul reaksi, namun akhirnya mereka membenci dan menolak Islam. Karena Islam akan merubah seluruh tradisi dan kebiasaan mereka yang bertentangan dengan ajaran Muhammad. Walaupun muncul kebencian sebagian besar masyarakat Makkah dengan kemunculan Islam, Nabi Muhammad dengan agama Islamnya tetap melarang kaum Muslimin untuk melawan apalagi merendahkan terutama penganut agama masehi. Banyak diantara mereka yang menyindir Nabi Muhammad bahkan menilainya dengan sifat-sifat yang tidak mungkin. Hal ini dilakukan untuk membangkitkan kebencian dan kemarahan kaum muslimin.[11] Demikian juga dengan pihak Yahudi yang mulanya bersikap damai, namun lambat laun telah terjadi permusuhan yang berlanjut sampai meninggalkan bekas berdarah dan membawa akibat keluarnya orang-orang Yahudi dari seluruh jazirah Arab.[12] Padahal pada waktu kecil Nabi Muhammad juga pernah bertemu dengan Bahira, seorang Rahib di pasar Busyra (Syam). Dengan demikian kebencian mereka terhadap Islam karena Islam datang merubah tradisi dan kebudayaan yang telah ada semenjak nenek moyang mereka. Di samping itu faktor lain adalah faktor kebangsawanan dan kegengsianlah yang menyebabkan mereka menolak ajaran Nabi Muhammad SAW.

4. Konsep tentang Wahyu/Al-Qur’an, Kenabian dan Kerasulan

Secara harfiah wahyu berarti pemberitahuan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi. Biasanya wahyu didefinisikan sebagai penyampaian oleh Allah kepada seorang hamba-Nya berupa petunjuk dan pengetahuan dengan cara sembunyi dan cepat yang tidak biasa bagi manusia pada umumnya.[13] Wahyu adalah isyarat yang cepat.[14] Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus, lambang, dan terkadang melalui suara semata, terkadang bisa melalui isyarat dengan anggota sebagian badan. Wahyu merupakan kata mashdar yang menunjukkan arti dasar “tersembunyi dan cepat”. Oleh karena itu yang dikatakan wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat khusus kepada ditujukan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahui orang lain. Terkadang wahyu juga dimaksudkan dengan ilham, seperti dalam beberapa ayat; 1). Ilham sebagai bawaan dasar manusia (lihat QS. Al-Qasahash/7 ayat 7), 2). Ilham berupa naluri pada binatang seperti lebah (lihat QS. An-Nahl/16 ayat 68, 3). Isyarat yang cepat melaui kode atau rumus (lihat QS. Maryam/19 ayat 11, 4). Bisikan dan tipu daya setan untuk melihat yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia (lihat QS. Al-An’am/6 ayat 121), 5. Apa yang diperintahkan Allah SWT kepada para malaikat-Nya untuk dikerjakan (lihat QS. Al-Anfal/8 ayat 12).

Wahyu dalam bahasa Arab berarti isyarat yang cepat, adakalanya menggunakan anggota tubuh.[15] Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa dalam kata wahyu terkandung 2 unsur pokok; ketersembunyian atau kerahasiaan (Al-Kafa’) dan kecepatan (Al-Sur’ah). Wahyu adalah pemberitahuan secara rahasia dan cepat yang khusus bagi orang yang dituju oleh pemberitahuan itu sedangkan orang lain tidak mengetahuinya.[16] Demikian pula Muhammad Abduh mengatakan bahwa wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang didalam dirinya dan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu bearasl dari Allah baik melalui perantara maupun tanpa perantara.

Sebagian ulama membedakan wahyu dengan ilham, wahyu untuk nabi sedangkan ilham bersifat umum. Adapun wahyu Allah kepada para nabi-Nya didefinisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Wahyu hampir sama dengan ilham, bedanya kalau ilham hanya bersifat intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta tanpa mengetahui dari mana datangnya. Menurut Kamus Bahasa Arab Wahyu atau Wahyun berarti ilham, berasal dari Kata Waha, Yahi, Wahyan, yang artinya mengajarkan, menunjukkan sesuatu kepadanya.[17]

Wahyu juga diartikan pengungkapan realitas atau tujuan Ilahi kepada manusia, misalnya kepada para nabi. Menurut pandangan agama, pengungkapan seperti itu bisa terjadi melalui penglihatan mistik, peristiwa historis atau pengalaman spiritual yang mengubah kehidupan seseorang atau kelompok. Wahyu pada hakikatnya tidak dapat diketahui begitu saja oleh manusia biasa. Orang yang menerima wahyu memiliki kekuatan jiwa dalam hal Fiqrah (kecerdasan), Iradah (kemauan) dan Wijdan (Perasaan). Ketiga hal tersebut juga dilengkapi dengan Akhlakul Karimah (Akhlak yang mulia). Allah SWT memberikan wahyu-Nya kepada orang-orang seperti itu yang kemudian disebut Nabi dan Rasul.[18] Para Muhaqqiqin (ahli, peneliti, penyelidik) memberikan pengertian Nabi sama dengan Rasul, tetapi para ulama ada yang membedakannya. Nabi dan Rasul sama-sama menerima wayu dari tuhan. Apabila wahyu itu diperintahkan untuk disampaikan maka penerima wahyu itu disebut Rasul, jika tidak maka disebut Nabi.[19]

Al-Qur’ān (القرآن) yang mulia, adalah yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.[20] Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah diperuntukkan bagi manusia dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.[21] Menurut Subhi Al Salih definisi Al-Qur'an adalah Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”. Adapun menurut Muhammad Ali ash-Shabuni "Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Naas.[22]

5. Turunnya Al-Qur’an

Diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur selama ±23 Tahun. Masa turunnya di Makkah selama ±13 tahun tepatnya 12 tahun 5 bulan 13 hari (permulaan Rabi’ul Awwal tahun 40 kelahiran Nabi), dilanjutkan di Madinah ±10 tahun tepatnya 9 tahun 9 bulan 9 hari (sampai 9 Dzul Hijjah tahun 63 kelahiran Nabi/10 H).[23] Hal ini menandakan bahwa Al-Qur’an mempunyai hubungan dialektis dengan situasi dan tempat ketika ia turun. Tentu saja Al-Qur’an bukan hanya memberi petunjuk bagi masyarakat tempat ia diturunkan, tetapi juga untuk masyarakat sepanjang masa dan di tempat manapun, karena itulah Al-Qur’an berifat fleksibel.[24]

Berdasarkan Hadits Shahih Bukhari dan Muslim dari Jabir Ra, ayat yang pertama turun adalah QS. Al-‘Alaq ayat 1-5. Walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang wahyu yang pertama turun. Ada yang mengatakan Surat Al-Mudatstsir (Yaa Ayyuhal Mudatstsir), dikatakan pula bahwa ayat yang pertama turun adalah Surat Al-Fatihah, disebutkan juga bahwa yang pertam turun adalah “Bismillahirrahmanirrahim”. Sedangkan ayat yang terakhir turun adalah ayat yang menunjukkan kesempurnaan agama dalam QS. Al-Maidah ayat 3. Meskipun demikian terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai ayat yang terahkir turun, antara lain:

a. Ada yang mengatakan QS. Al-Baqarah/2 ayat 278 mengenai Riba

b. Pendapat kedua QS. Al-Baqarah/2 ayat 181

c. Pendapat ketiga mengatakan mengenai utang (QS. Al-Baqarah/2 ayat 282

d. Ada yang mengatakan mengenai Kakalah (QS. An-Nisa’/4 ayat 176)

e. Sebagian mengatakan QS. At-Taubah/9 ayat 128

f. Ada juga dikatakan QS. An-Nisa’/4 ayat 93

g. Pendapat lain mengatakan QS. An-Nashr

Selanjutnya ada beberapa proses turunnya wahyu/Al-Qur’an antara lain:

a. Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke Lauhul Mahfuzh. Hal ini dijelaskan Allah SWT dalamQS. Al-Buruuj/85 ayat 21-22;

ö@t/ uqèd ×b#uäöè% ÓÅg¤C ÇËÊÈ Îû 8yöqs9 ¤âqàÿøt¤C ÇËËÈ

Artinya:

“Bahkan (yang didustakan itu) ialah Al-Qur’an mulia. Yang (tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (Lauhul Mahfuz).”[25]

b. Al-Qur’an diturunkan ke Lauhul Mahfuzh, ke langit dunia sekaligus, kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammas SAW secara berangsur-angsur selama ± 23 tahun. Seperti dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah/2 ayat 185;

ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 .....

Artinya:

“Bulan Ramadhan adalah (bulan) di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak/benar dan yang bathil).”[26]

Sedangkan menurut Al-Zarqani, ada 3 versi turun Al-Qur’an yaitu;

a. Turun Al-Qur’an ke Lauhul Mahfuz

b. Dari Lauhul Mahfuz ke Baitul ‘Izzah

c. Dari Baitul “Izzah kepada nabi secara berangsur-angsur.

Bentuk lahir Al-Qur’an berbahasa Arab, sehingga kedudukan Bahasa Arab menjadi penting. Bahasa Arab dimuliakan bukan karena ia sebagai bahasa kultural atau bahasa ilmiah, melainkan ia dianggap penting karena menjadi bagian integral Al-Qur’an yang bunyi dan pengucapannya memegang peranan penting dalam ibadah Islam. Jumhur ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an bukan perkataan nabi atau Malaikat Jibril.[27]

Berdasarkan hadits dan kesepakatan para ulama Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad SAW makna dan lafaznya merupakan kalam Allah dan berasal dari-Nya. Seandainya yang berasal dari Allah hanya makna saja, tentu Al-Qur’an tidak mengandung mukjizat dan membacanya juga tidak dinilai ibadah. [28] Ucapan-ucapan Rasul itu merupakan pelafalan kata-kata atau kalam Tuhan yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an Surat An-Najm (53) ayat 3-4. Sedangkan cara turunnya wahyu itu kepada Nabi Muhammad dengan 3 cara:

a. Memperdengarkan suara dari belakang tabir dan Nabi Muhammad SAW mendengarnya dari balik tabir itu.

b. Allah SWT memberi peringatan dengan tidak memakai perantaraan. Pengetahuan itu tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Cara ini seperti melalui mimpi yang benar (seperti kisah nabi Ibrahim), Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa.[29]

c. Mengutus Malaikat Jibril (sebagai pembawa wahyu) yang disebut Ruhul Amin atau Ruhul Qudus. Cara ini seperti adanya bunyi lonceng dan Malaikat menyamar bagaikan seorang laki-laki. Bentuk turun wahyu ini agak ringan bagi Rasul.

Adapun Hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur adalah:

a. Memantapkan hati Nabi Muhammad SAW

b. Menentang dan melemahkan para penentang Al-Qur’an itu

c. Memudahkan untuk dihafal dan difahami

d. Mengikuti setiap kejadian. Karenanya ayat-ayat Al-Qur’an turun berkaitan dengan penahapan dalam penetapan aqidah yang benar, hukum-hukum syari’at dan akhlak mulia.[30]

e. Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Qur’an turun dari Allah SWT yang Maha Bijaksana.

6. Penyebaran Wahyu

Rasulullah menyampaikan wahyu Al-Qur’an kepada para sahabatnya (orang Arab asli) sehingga mereka memahaminya dan apabila kesulitan dalam memahaminya langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Sahabat sangat antusias menerima Al-Qur’an, menghafal dan memahaminya bahkan satu kehormatan bagi mereka. Begitu juga mereka mengamalkannya dengan sebaik-baiknya.

Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing manusia ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikan wahyu Al-Qur’an kepada para sahabatnya (orang Arab asli) sehingga mereka memahaminya dan apabila kesulitan dalam memahaminya langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Sahabat sangat antusias menerima Al-Qur’an, menghafal dan memahaminya bahkan satu kehormatan bagi mereka. Begitu juga mereka mengamalkannya dengan sebaik-baiknya. Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.[31] Pada zaman Rasulullah, Khalifah Abu Bakar, Umar belum ada perhatian yang berarti untuk membukukan Al-Qur’an, karena Nabi sendiri yang melarangnya. Pada umumnya para sahabat memahami dengan baik Al-Qur’an itu sebab bahasa mereka sendiri. Bila ada yang mereka tidak pahami, dapat bertanya langsung kepada Nabi Muhammad SAW atau para sahabat yang pernah bertemu beliau. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Riddah) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.

Pada masa Khalifah Utsman bin Affan mulai terjadi perbedaan bacaan karena Islam telah menyebar sampai ke luar tanah Arab. Khalifah Utsman mengambil kebijaksanaan, sehingga ayat-ayat Al-Qur’an diseragamkan dan dinamakan Mushaf Utsmani. Sedangkan pada masa Khalifah Ali bin Abi Tahlib makin banyak non Arab masuk Islam dan mereka tidak menguasai bahasa Arab, sehingga terjadilah salah baca karena ayat Al-Qur’an belum diberi baris/harakat, titik dan belum memiliki tanda baca. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.[32] Usaha selanjutnya Khalifah Ali mengambil kebijakan dengan memerintahkan Abu Aswad Ad-Duali (wafat tahun 691 H) agar menyusun kaidah bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Hal ini dianggap sebagai perintis lahirnya ilmu Nahwu dan I’rabul Qur’an.[33]

C. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal antara lain;

1. Konsep wahu merupakan sesuatu yang tidak asing bagi masyarakat Arab karena sebelumnya juga telah ada nabi dan rasul yang menerima wahyu dari Allah

2. Masyarakat sebelum bahkan awal kedatangan Islam dikenal dengan masyarakat jahiliyah, Masyarakat Ummiy, dan gemar bersyair dan kuat hafalannya dan istilah wahyu sesungguhnya tidak asg lagi bagi mereka.

3. Ayat pertama turun adalah QS. Al-‘Alaq ayat 1-5 sedangkan yang terakhir turun QS. Al-Maidah ayat 3

4. Bagi orang Yahudi dan Nashrani (Masehi dan Majusi) istilah wahyu merupakan sesuatu yang tidak asing lagi karena mereka sudah sering mendengarnya sebelumnya.

5. Periodesasi turunnya wahyu selama 23 tahun (22 tahun 2 bulan 10 hari)

6. Al-Qur’an/wahyu mendapat perhatian besar dari sahabat nabi karena menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa mereka sehingga mereka mudah menghafalnya.

7. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad selama 23 tahun

8. Al-Qur’an dibukukan pada masa Khalifah Utsman Bin Affan, sedangkan pada masa sebelumnya (Abu Bakar dan Umar) Al-Qur’an sudah dikumpulkan dengan mengangkat Zaid Bin Tsabit sebagai koordinator bahkan ketika pembukuannya Zaid sangat berjasa dalam tugas ini.

Selanjtunya penulis berharap kritikan dan masukan yang bersifat konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan tulisan ini dan menambah wawasan keilmuan kita semua. Manusia tidak luput dari kekhilafan dan hanya Allah Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim

Al-Khattaan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Terjemahan oleh Drs. Mudzakir, AS, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 1994, Cetakan II

Azra, Azyumardi, dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta: Al-Huda, 2002

Anwar, Rosihan, Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), Cetakan I

Haikal, Muhammmad Husein, Sejarah Hidup Muhammad, Diterjemahkan oleh Ali Audah, Jakarta: Litera Antarnusa, 1993, Cetakan XVI

Hamid, M. Salahuddin, Study ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Intimedia Ciptanusantara, 2002

Hitami, Munzir, Rasul dan Sejarah, Tafsir Al-Qur’an tentang Peran Rasul-Rasul sebagai Agen Perubahan, Pekanbaru: Suska Press, 1998, Cetakan I

Internet, http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27an, didownload tanggal 20 November 2010 Jam 10.00 WIB

Internet, http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27an # Sejarah_Al-Qur.27an_hingga_ berbentuk _mushaf, tanggal 20 November 2010 Jam 10.00 WIB

Mansur, Kahar, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, Cetakan I

May, Asmal, Sejarah Perkembangan Kebudayaan dan Peradaban Islam, Pekanbaru; Suska Press, 2010

Mufrodi, Ali Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997, Cetakan I

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta; Hidakarya Agung, 1990, Cetakan VIII

----------, Kamus Arab Indonesia, Jakarta; Mahmud Yunus wa Dzurriyah, 2007

Shihab, Muhammad Quraish, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007, Cetakan I

----------, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Firdaus, 2005, Cetakan III

Yunus, M, Pengantar Studi Islam, Pekanbaru: Suska Press, 2008



[1] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Terjemahan oleh Drs. Mudzakir, AS, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, Cet. II, 1994), hlm. 10

[2] Ibid., hlm. 10

[3] Asmal May, Sejarah Perkembangan Kebudayaan dan Peradaban Islam, (Pekanbaru; Suska Press, 2010), hlm. 6

[4] Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Vanhoeve, Jilid III, 2005), hlm. 271

[5] Ibid., hlm. 272

[6] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, Cet. I, 2007), hlm. 74

[7] Ibid., hlm. 74

[8] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, Cet. I, 1997), hlm. 11

[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: Al-Huda, 2002), hlm. 209

[10] Ali Mufrodi, op. cit., hlm. 9

[11] Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Diterjemahkan oleh Ali Audah, (Jakarta: Litera Antarnusa, Cet. XVI, 1993), hlm xliii

[12] Ibid., hlm. xlv

[13] Munzir Hitami, Rasul dan Sejarah, Tafsir Al-Qur’an tentang Peran Rasul-Rasul sebagai Agen Perubahan, (Pekanbaru: Suska Press, Cet. I, 1998), hlm. 105

[14] Manna’ Khalil al-Qattan, op.cit., hlm. 35

[15] M. Yunus, Pengantar Studi Islam, (Pekanbaru: Suska Press, 2008), hlm. 11

[16] Ibid., hlm. 11

[17] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta; Hidakarya Agung, Cet. VIII, 1990), hlm. 494

[18] Azyumardi Azra, op, cit., Jilid 7, hlm 233

[19] Ibid., Jilid 5, hlm. 152

[20] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyah, 2007), hlm. 337

[21]Internet, http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27an didownload tanggal 20 November 2010 Jam 10.00 WIB

[22] Internet, Ibid.,

[23] M. Salahuddin Hamid, Study Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Intimedia Ciptanusantara, 2002), hlm. 20

[24] Ibid., hlm. 64

[25] Departemen Agama, op. cit., hlm. 591

[26] Ibid., hlm. 29

[27] Muhammad Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, (Jakarta; Pustaka Firdaus, Cet. III, 2001), hlm. 19

[28] Rosihan Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2009), hlm. 43

[29] Kahar Mansur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet. I, 1992), hlm. 52

[30] Rosihan Anwar, op. cit., hlm. 50

[32] Internet, Ibid.,

[33] Manna Khalil Al-Qattan, op.cit., hlm. 32